! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 8

Tawakkal, Hemat dan Ubet
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Mematuhi perjanjian kewajiban denganNya, di samping kesetiaan beribadah serta konsistensi kita terhadap pemaknaan ibadah itu dalam kehidupan nyata, juga kecerdasan akal kita bahwa dalam situasi penuh krisis seperti dewasa ini, sikap yang harus kita tanamkan adalah tawakkal, hemat dan ubet.

Tawakkal sebagaimana terungkap di atas: dengan kepatuhan kepadaNya yang terpelihara, kita yakin sepenuhnya atas jaminan Allah atas kehidupan kita.

Hemat dalam arti mulai benar-benar mengerti dan menerapkan kemampuan membedakan dan memilih apa saja dalam hidup ini yang penting dan apa yang tidak penting, mana yang primer mana yang sekunder, mana yang sejati mana yang palsu, siapa yang pemimpin siapa penguasa, siapa pembela siapa pengkhianat, siapa pecinta siapa pembenci, siapa sahabat siapa pemfitnah, dan lain sebagainya.

Kemudian ubet atau kreatif. Artinya hamba Allah mendayagunakan badannya untuk bekerja keras, mendayagunakan akal untuk titis memilih dan masuki bidang-bidang usaha.
Dan pangkal atau landasan dari itu semua adalah mengkhusyuki janji Allah naj’aluhum a-immatan wa naj’aluhumul waritsin (mengangkat mereka menjadi pemimpin dan mewariskan kekuatan kepada mereka), yang Ia berikan kepada alladzina-studl’ifu fil ardli (yang dilemahkan di muka bumi).
Di angkat oleh Allah menjadi pemimpin, arti maksimalnya adalah kekuatan kaum yang dilemahkan pada suatu hari akan memimpin sejarah. Arti minimalnya adalah bahwa meskipun dalam posisi dikuasai, si hamba Allah tetap memimpin dirinya sendiri, tetap menjuragani dirinya sendiri, tetap seorang subyek, seorang fa’il, yang memiliki kemandirian. Kemandirian dalam berakidah, berakhlak, berpikir dan bertindak dalam hidupnya.

Insyallah poro dherek-dherek, konco-konco, dulur-dulur kabeh — dalam situasi krisis seperti apapun, kita mengupayakan agar tergabung di wilayah pemenuhan janji Allah itu.
(”Pilih Barokah atau Bencana”, Zaituna, 2000)