! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 1

Dialektika Ketidakrelaan

Oleh: Emha Ainun Nadjib


Kiblat politik kita bukan kemaslahatan rakyat Indonesia, melainkan kemenangan golongan. Setiap golongan tidak mau kalah. Kalau ada yang kalah, pasti terpaksa dan tidak rela.

Karena tidak pernah rela kalah, maka si kalah lebih tidak rela lagi kemenangan golongan lain. Hal macam inilah yang saya sebut sebagai dialektika ketidakrelaan.

Dari spektrum psikologi budaya, manusia Indonesia memiliki kecenderungan kuat untuk tidak merelakan sukses orang lain. Hal ini berlaku dalam skala negara-bangsa, sampai skala pergaulan sehari-hari dengan tetangga.

Jangankan merelakan orang lain menang, syukuri keberhasilan orang lain, memakai kearifan cinta sosial —kebahagiaan saudara kita juga kebahagiaan kita, kita sangat berbakat untuk tidak merelakan orang lain bisa baik. Jika ada saudara kita baik, kita sinis. Jika tetangga kita khusyuk beragama, kita curiga. Jika orang lain memperbaiki dirinya, kita tidak percaya.

Kalau ada maling, kita bergembira kalau ia tetap maling, kita mengutuk dan menghajarnya. Jangan sampai ada orang bertobat atau insaf. Keburukan orang lain adalah kenikmatan kita.

Orang lain yang kita benci, jangan sampai mendapatkan jalan taubah di hadapan Allah. Kita rekayasa sehingga ia tetap dan pasti masuk neraka. Jangan sampai ada keinsyafan, kesadaran, khusnul khatimah. Hal semacam itu mengacaukan psychological survival kita.

Kita butuh keburukan orang lain, kehancuran orang lain, kehinaan orang lain agar kita tidak mati psikis. Inilah jenis kejahatan diam-diam bangsa Indonesia; kebodohan telanjang masyarakat Indonesia, yang kita jalani dengan hati mantap dan hiasi dengan berbagai teori dan retorika tentang demokrasi, nasionalisme, ideologi kerakyatan atau apapun sebagai aksesori kejahatan kita.

Dengan kejahatan dan kebodohan macam itu, tidak ada keuntungan hidup yang kita peroleh. Dengan kejahatan dan kebodohan itu, kita tetap melarat dan tidak bahagia dan dengan itu pula banyak teman kita dari hari ke hari mengisi hati dan pikirannya, menghiasi pena dan mulutnya. Hidupnya nelangsa dari pagi hingga sore, sore hingga pagi.

Jika malam tiba, ia bersujud dan berdoa: "Ya Tuhan, selamatkanlah bangsa Indonesia". Mungkin Tuhan menjawab: "Ah, yang bener aje...."

Edited From:

No.16.  08.05.2001

PADANG BULAN SPEKTRUM ikut mengantar Indonesia ke gerbang.....

Jika kutipan menyebutkan sumbernya, akan mengurangi ketidakselamatan kita semua

Edisi 8

Tawakkal, Hemat dan Ubet
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Mematuhi perjanjian kewajiban denganNya, di samping kesetiaan beribadah serta konsistensi kita terhadap pemaknaan ibadah itu dalam kehidupan nyata, juga kecerdasan akal kita bahwa dalam situasi penuh krisis seperti dewasa ini, sikap yang harus kita tanamkan adalah tawakkal, hemat dan ubet.

Tawakkal sebagaimana terungkap di atas: dengan kepatuhan kepadaNya yang terpelihara, kita yakin sepenuhnya atas jaminan Allah atas kehidupan kita.

Hemat dalam arti mulai benar-benar mengerti dan menerapkan kemampuan membedakan dan memilih apa saja dalam hidup ini yang penting dan apa yang tidak penting, mana yang primer mana yang sekunder, mana yang sejati mana yang palsu, siapa yang pemimpin siapa penguasa, siapa pembela siapa pengkhianat, siapa pecinta siapa pembenci, siapa sahabat siapa pemfitnah, dan lain sebagainya.

Kemudian ubet atau kreatif. Artinya hamba Allah mendayagunakan badannya untuk bekerja keras, mendayagunakan akal untuk titis memilih dan masuki bidang-bidang usaha.
Dan pangkal atau landasan dari itu semua adalah mengkhusyuki janji Allah naj’aluhum a-immatan wa naj’aluhumul waritsin (mengangkat mereka menjadi pemimpin dan mewariskan kekuatan kepada mereka), yang Ia berikan kepada alladzina-studl’ifu fil ardli (yang dilemahkan di muka bumi).
Di angkat oleh Allah menjadi pemimpin, arti maksimalnya adalah kekuatan kaum yang dilemahkan pada suatu hari akan memimpin sejarah. Arti minimalnya adalah bahwa meskipun dalam posisi dikuasai, si hamba Allah tetap memimpin dirinya sendiri, tetap menjuragani dirinya sendiri, tetap seorang subyek, seorang fa’il, yang memiliki kemandirian. Kemandirian dalam berakidah, berakhlak, berpikir dan bertindak dalam hidupnya.

Insyallah poro dherek-dherek, konco-konco, dulur-dulur kabeh — dalam situasi krisis seperti apapun, kita mengupayakan agar tergabung di wilayah pemenuhan janji Allah itu.
(”Pilih Barokah atau Bencana”, Zaituna, 2000)